Jumat, 13 Februari 2015

TATARING

Dimana ad Desa, Kampung Halamanku

Masa kecil di desa yang terletak di daerah pegunungan. Udara dingin menusuk, terasa hingga di tulang-tulang. Gemeretak gigi disaat menyentuh air diwaktu pagi dan sore hari, itu sudah menjadi menu harian kami. Namun jaibnya, selesai bergelut dengan dinginnya air dari bebatuan ini, segera badan akan terasa bugar. Rasa dingin yang menusuk, lenyap seketika hanya oleh balutan kain baju yang lusuh karena hari berganti hari hanya beberapa helai baju harian yang silih berganti dipakai.

Tempat favorit warga desaku di pagi-pagi buta dan petang menjelang malam adalah tataring. Perapian di setiap rumah kami ini multifungsi, mulai dari memasak makanan sehari-hari, menghangatkan rumah dan seisinya, mengeringkan kayu bakar di bagian atasnya atau disebut para-para  dan fungsi lain yang menjadi favoritku adalah tempat bercengkerama, bercanda, bercerita bahkan berkisah hal-hal rahasia bagi anak-anak kala itu.

Gambar: Salah satu bentuk parapian yang menggunakan besi tiga kaki.

Gambar Tataring bentuk parapian yang menggunakan tiga bongkah batu (yang umum pada masa lalu).

Sebenarnya masih ada satu tempat favorit lagi bagi kami di desa, mungkin khususnyam buatku. Ketika ada salah seorang Inang yang melahirkan di desaku maka selama tujuh malam berturut-turut, seluruh warga kampung mulai dari orok sampai nenek, kakek akan tidur di rumah yang lahiran atau mandungoi.  Haa, yang ini ada episode kisah sendiri yang sangat menyenangkan bagi setiap anak seusiaku. Akan lebih seru dikisahkan pada bagian lain. Saat mandungoi ini, perapian tataring tidak boleh padam hingga pagi. Tataring harus terus berasap guna menghangatkan bayi dan ibunya...tentunya beserta seluruh penghuni yang mandungoi. Ditengah kehangatan kebersamaan seluruh warga kampung, dengungan lampu stromking bersumbu halus...benda ajaib dan menggelikan bagi adikku karena ia suka mengamat-amati benda itu tatkala  Bapa' kami atau Among baru saja berhasil "menyulapnya" dari bentuk harnal menjadi "bohlam kain bergaris-garis" lalu seketika adikku akan mendekat secara perlahan dan menyentuhnya dan sshhh....bohlam ajaib berserakan jadi debu putih di atas lantaai papan. Seketika itupun terdengarlah suara tinggi Among karena kaget dan tidak mendunga akan sentuhan lembut adikku berakibat fatal bagi si bohlam ajaib itu... EEEIIII....dan adikku tidak mau kalah... HUWAAAAA.. ia balas dengan tangisan khas kagetnya.

Ehmmm, bercerita masa kecil yang penuh pelangi hidup tidak ada habisnya.

Kembali ke perapian rumah di desaku, di rumahku, di rumah nenek atau Oppung, seluruh sanak keluarga bahkan seluruh penghuni desa dan kampungku. Perapian ini menyimpan berjuta cerita kami yang direkamnya dari setiap hari-hari kami.

Kisah Matahari: "Ndang Haintopan Mataniari Binsar"
In the next posting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar