Warisan terpenting Sriwijaya mungkin
adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan
militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara,
setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai
bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini
mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern.
Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan
sampai pada abad ke-14 M. Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga
mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau
Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan
identitas daerah, khususnya bagi penduduk kotaPalembang, Sumatera
Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang
menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada
keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama, diantaranya:
1. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San
Fo Qi.
2. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan
Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh.
3. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan
Khmer menyebutnya Malayu.
4. Sementara dari peta Ptolomeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya
menjadi sebuah ‘misteri’.
Kedatuan
Sriwijaya (600-1100)
| ||
Jangkauan terluas Kemaharajaan
Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
| ||
Ibukota
|
Sriwijaya,
Jawa, Kadaram, Dharmasraya
| |
Bahasa
| ||
Agama
| ||
Pemerintahan
| ||
Tahun
|
Maharaja
| |
-
|
683
| |
-
|
702
| |
-
|
775
| |
-
|
792
| |
-
|
835
| |
-
|
988
| |
-
|
1008
| |
-
|
1025
| |
Sejarah
| ||
-
|
Didirikan
|
600-an
|
-
|
Invasi Dharmasraya
|
1100-an
|
Kutai (abad ke-4)
|
||
Tarumanagara (358–669)
|
||
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
|
||
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
|
||
Sailendra (abad
ke-8 sampai ke-9)
|
||
Kerajaan
Medang (752–1006)
|
||
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
|
||
Kerajaan Sunda (932–1579)
|
||
Kediri (1045–1221)
|
||
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
|
||
Singhasari (1222–1292)
|
||
Majapahit (1293–1500)
|
||
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
|
||
Penyebaran Islam (1200-1600)
|
||
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
|
||
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
|
||
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
|
||
Kesultanan Malaka (1400–1511)
|
||
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
|
||
Kesultanan
Demak (1475–1548)
|
||
Kesultanan
Aceh (1496–1903)
|
||
Kesultanan Banten (1527–1813)
|
||
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
|
||
Kesultanan Mataram (1588—1681)
|
||
Kesultanan Siak (1723-1945)
|
||
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
|
||
Portugis (1512–1850)
|
||
VOC (1602-1800)
|
||
Belanda (1800–1942)
|
||
Kemunculan Indonesia
|
||
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
|
||
Pendudukan Jepang (1942–1945)
|
||
Revolusi nasional (1945–1950)
|
||
Indonesia Merdeka
|
||
Orde Lama (1950–1959)
|
||
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
|
||
Masa Transisi (1965–1966)
|
||
Orde Baru (1966–1998)
|
||
Era Reformasi (1998–sekarang)
|
||
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai:
ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī
wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari
yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan
banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dariKamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisirKalimantan.
Dalam bahasa Sanskerta,sri berarti
"bercahaya" atau "gemilang", danwijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna
"kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan
kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada
pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya
mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025
serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah jatuh, kerajaan ini
terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918
dari sejarawan PerancisGeorge Cœdès dari École
française d'Extrême-Orient.
Catatan sejarah
Tidak terdapat catatan lebih lanjut
mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana
Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya
dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i",
sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk
pada kekaisaran yang sama. Selain berita-berita diatas tersebut, telah
ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya
di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal,Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian
papan perahu itu digunakan justru buat jembatan.
Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang
terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk
menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat
yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik
tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah
artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar,
keramik, dan alat kayu. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan
kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di
Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh
kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwaIndonesia merupakan
satu kesatuan negara sebelumkolonialisme
Belanda. Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang
Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atauSan
Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya
disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab
menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnyaMalayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara
dari petaPtolemaeus ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulauSabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan
Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan
observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak
di provinsi Sumatera Selatansekarang), tepatnya di sekitar
situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
.Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa
situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit,
kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah
buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk
bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal
meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang
menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat
aktifitas manusia. Namun sebelumnya Soekmono berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari,
antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsiJambi sekarang), dengan
catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika
Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya
berada pada kawasan Candi Muara
Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan
dalam catatan I Tsing serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita
tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu
la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada
kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti
pada masa penaklukan oleh Rajendra
Chola I, berdasarkan prasasti
Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekaran
Candi Muara
Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan
Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman
Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Belum banyak bukti fisik mengenai
Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan
merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di
luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian
berkontribusi untuk populasiMadagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan
kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang
menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan
daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat. Kemaharajaan
Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing,
dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682
di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah
prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis
prasasti ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi
bagian kemaharajaan Sriwijaya Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun
686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang
tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di
Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat
serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan
Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan
utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan
beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di
tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di
bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai
raja Khmer Jayawarman II,
pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang
sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada
di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi
ke Jawa Tengah dan
berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi
bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang
terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi
penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer,
tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi
Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Ajaran
Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77
meter, ditemukan di situs Bukit
Seguntang, Palembang, berasal dari abad ke-7 sampai ke-8 masehi.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing,
yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan
bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan
oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama
Budha pada Sakyakirti, seorang
pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau ini
menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu
ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana danBuddha
Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir
abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang
berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas
kerjanya Durbodhālokamenyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri diSuvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya
dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9,
sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda,
lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami
ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran
Sriwijaya menurut I Tsing.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya
yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya
menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga
beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh
menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah,
sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam
pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa
prasasti Siddhayatra abad ke-7 sepertiPrasasti Talang Tuo menggambarkan
ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman
Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.Prasasti Telaga Batu menggambarkan
kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu
dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7,
bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara.
Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti
berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana
penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum
pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan
digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan
ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan
purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode
Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang
banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu,
dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara
lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara
Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi
periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat
dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat
Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari
Jambi[26],
Bidor,Perakdan Chaiya, dan
arca Maitreya dari
Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar
abad ke-8 sampai ke-9).
Perdagangan
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang
terdapat pada candiBorobudur.
Di dunia perdagangan, Sriwijaya
menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan darivassal-vassal-nya di
seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau
pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi
pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus
terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu
— memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga
monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi
militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan
menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan
Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di
semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap
kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa
adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan diChampa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang
dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa
adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk
menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar
pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari
tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di
relief Borobudur yaitu
menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan
bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi
cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal
atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero
Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra
Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur
mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam
pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang
dengan India dan Tiongkok,
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab.
Kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun
718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak
wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan
rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724
mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud
sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di
antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong.
Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus
lanatus(Thunb.) Matsum. & Nakai),
yang masuk melalui perdagangan mereka.
Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin
dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan
Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi.
Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai
pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah
kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang
masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan
kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat
dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan
pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah
mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil
atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra
Hindia.
Sebuah penelitian yang
dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings
of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah
orang Indonesia.
Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. Migrasi
ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830
M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat
merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari
Indonesia 1200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari
bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu,
hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh
penduduk yang berasal dari Sriwijaya. Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan
dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di
seantero Nusantara dan Samudra Hindia.
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Candi
Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Munculnya keterkaitan antara
Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya
namaŚailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti
Kalasan di pulau Jawa, prasasti
Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta
Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa
Melayu umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa
Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih
menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti
Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa),
keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian
Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang,
menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat
bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di
antaranya prasasti Sojomerto.
Hubungan dengan kekuatan regional
Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya,
Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas
penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengankekaisaran
China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi)
Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan
kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum
Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja,
yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya
dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang
mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma
harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan
lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa
sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat
Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Peristiwa ini membuktikan bahwa
Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia
Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah
memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk
mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari
berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni
Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan
Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom
That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi
menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat
Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya,
Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke
Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala
Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa
sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan
Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian
suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatandan Pramodawardhani,
hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke
Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan
hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti
Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya
sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja
Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di
India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika
raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang
pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada
tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan
Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat
dengan kerajaan Pala di Benggala,
pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa
raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara
kepada Universitas
Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di
selatan India juga
cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya
di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun
sebuah vihara yang
dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelahRajendra Chola
I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11.
Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di
Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekatKanton pada
tahun 1079.
Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan
nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut
dengan nama Yuan Miau Kwan.
Arca emas Avalokiteçvarabergaya
Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan
kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam
menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa
kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi
kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan
kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara,
antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboj, Vietnam dan
Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah
dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955
M, Al Masudi,
seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan
kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi
seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus,
kayu gaharu,cengkeh,
kayu cendana, pala, kapulaga,
gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya
maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang
bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang
pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan
Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan
kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan. Sriwijaya
menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan
tetapi pada akhir abad ini Kerajaan
Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan
mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan
nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat
persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta
besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di
pelabuhan Kanton ketika
hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari
Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan
992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa. Pada musim semi
tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan diChampa karena
negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan
kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia
dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut
adalah Dharmawangsa Teguh. Kerajaan Medang berhasil
merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan
Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997
kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan
dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan
di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya
kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan
di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos
keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari
sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya
memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul
mundur angkatan laut Jawa. Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan
kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati
Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan
bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang
didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar
Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng
tien wan shoudan menganugerahkan genta yang akan
dipasang di candi itu. Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak
di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka
mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun
menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya
disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan
Medang di Jawa. Dalam prasasti
Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya,
yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji
Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan
Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Kemunduran
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola
di Kedah.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra
Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan,
mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah
menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan
sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama
beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam
pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap
tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita
utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028. Faktor lain kemunduran
Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan
beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang
tiba di Palembang semakin
berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi
tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan
memperlemah ekonomi dan
posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah
kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan
dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya
diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti
Tanjore
|
|
Nama kawasan
|
Keterangan
|
Pannai
|
|
Malaiyur
|
|
Mayirudingam
|
|
Ilangasogam
|
|
Mappappalam
|
|
Mevilimbangam
|
|
Valaippanduru
|
|
Takkolam
|
|
Madamalingam
|
|
Ilamuri-Desam
|
|
Nakkavaram
|
|
Kadaram
|
Namun demikian pada masa ini
Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa pada tahun 1079,Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Choladisebut juga sebagai raja San-fo-ts'i,
yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan
bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih
mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta
besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pibawahan
San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara
San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong
pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi
Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya
melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian
menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung
Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina
menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada
tahun 1079,
masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya
selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi
Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang
memungkinkan Jambi untuk
mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada
tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat
dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di
Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang
meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga,
Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang,
selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka),Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara
sungaiDungun daerah
Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur
semenanjung malaya),Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), danSin-t'o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama
pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik
dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya.
Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada
di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah
disebutkan Malayu.
Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara rajaSinghasari,
mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkanArca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa diDharmasraya sebagaimana yang tertulis
pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti
Grahi. Begitu juga dalamNagarakretagama yang
menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit,
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya
merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Prasasti Telaga Batu
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk,
dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam
dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa
prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda,mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah)
tempat tinggal bini hāji, tempat disimpanmas dan
hasil cukai (drawy)
sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi olehvanua,
yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya
terdapat vihara untuk
tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini
merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyādamerupakan
kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan
khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.
Sedangkan mandalamerupakan suatu
kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadātuanSriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut
dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra
mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) danrājakumāra (pewaris
berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak
menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa
Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja
Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun,
jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra
raja yang keempat), bhupati (bupati),senopati (komandan
pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat
juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi
nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi
haji, dan hulu haji (peniaga,
pemimpin, tukang cuci, budak raja). Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu,
Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan
diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang
diberi gelar putra mahkota, yakniyuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra
mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad
Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan
bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan
Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.
Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya
Tahun
|
Nama Raja
|
Ibukota
|
Prasasti,
catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
|
671
|
Dapunta Hyang atau
|
Shih-li-fo-shih
|
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685,
Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit (683),Talang Tuo (684), Kota Kapur(686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
|
702
|
Shih-li-t-'o-pa-mo
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
|
728
|
Lieou-t'eng-wei-kong
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 728-742
|
743-774
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
775
|
Sriwijaya
|
Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si
Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
|
|
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atauYogyakarta)
|
Wangsa Sailendramengantikan Wangsa
Sanjaya
|
||
778
|
Dharanindra atau
|
Prasasti
Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi
Prambanan
Prasasti Kalasan tahun 778 diCandi
Kalasan
|
|
782
|
Samaragrawira atau
|
Jawa
|
Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
|
792
|
Samaratungga atau
|
Jawa
|
Prasasti Karang Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candiBorobudur
|
840
|
Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai
Pikatan
|
||
856
|
Suwarnadwipa
|
Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke
Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860,India
|
|
861-959
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
960
|
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
|
Sriwijaya
San-fo-ts'i
|
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
|
980
|
Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche(Haji)
|
||
988
|
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
|
Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
|
990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untukkaisar Cina yang
diberi nama
cheng tien wan shou
|
1008
|
Se-li-ma-la-pi
|
San-fo-ts'i
Kataha
|
Prasasti
Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
|
1017
|
Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan
raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelarhaji biasanya
untuk raja bawahan
|
||
1025
|
Sriwijaya
Kadaram
|
Diserang oleh Rajendra
Chola I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada
candi Rajaraja, Tanjore, India
|
|
1030
|
Dibawah Dinasti
Chola dariKoromandel
|
||
1079
|
Utusan San-fo-ts'i dengan rajaKulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat
Kanton)
|
||
1082
|
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi(Jambi) ke
Tiongkok 1082 dan 1088
|
||
1089-1177
|
Belum ada berita
|
||
1178
|
Laporan Chou-Ju-Kua dalam
buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
|
||
1183
|
Dibawah Dinasti Mauli,Kerajaan
Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatanThailand
|
Warisan sejarah
Busana gadis penari Gending Sriwijaya
yang kaya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan
sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan
masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès
pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan
politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan
kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah
digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga
digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan
tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit
komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera
Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai
penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak
bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan
merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011
digelar upacara pembukaan SEA Games
2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan
ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden
Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika
ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari
ini.
·
D. G. E.
Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
·
D. R.
SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview
Press, 1997.
·
Lynda Norene
Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk,
1996.
·
Stuart-Fox,
Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade,
and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
·
Munoz, Paul
Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet.ISBN 981-4155-67-5.
·
Muljana, Slamet
(2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627.
·
Halimi,
Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan
Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (dalam
bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication &
Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X Check |isbn= value (help).
·
Collins,
James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam
bahasa Indonesia). Jakarta: KITLVbekerjasama dengan Pusat Bahasa danYayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4.
·
Natawidjaja,
P. Suparman (1985). Mengenal Buah-Buahan yang Bergizi (dalam
bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Dian.
·
Sucipto
(2009). In Suminto. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu
Budha serta Peningalannya (dalam bahasa Indonesia). Solo: Tiga
Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0.
Sumber: Copas dari wikipedia
NB: Saya simpan di blog ini sebagai dokumen yang sewaktu-waktu bisa saya pelajari atau siapa saja yang mampi membacanya.
NB: Saya simpan di blog ini sebagai dokumen yang sewaktu-waktu bisa saya pelajari atau siapa saja yang mampi membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar