Rabu, 18 Januari 2017

SRIWIJAYA ADALAH NEGERI SEBA

Dapat dari wiwikipedia dan langsung saya copas, kelak bisa dibaca-baca.
Nice info!


Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Sriwijaya



Sriwijaya
Kadatuan Sriwijaya
 

 
600-an–1100-an 

 
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
IbukotaSriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
BahasaMelayu KunaSanskerta
AgamaBuddha Vajrayana,Buddha Mahayana,Buddha Hinayana,Hindu
PemerintahanMonarki
Maharaja
 - 683Sri Jayanasa
 - 702Sri Indrawarman
 - 775Dharanindra
 - 792Samaratungga
 - 835Balaputradewa
 - 988Sri Cudamani Warmadewa
 - 1008Sri Mara-Vijayottunggawarman
 - 1025Sangrama-Vijayottunggawarman
Sejarah
 - Didirikan600-an
 - Invasi Dharmasraya1100-an


Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)


Sriwijaya (atau juga disebut SrivijayaThai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dariKambojaThailand Selatan, Semenanjung MalayaSumateraJawa, dan pesisirKalimantan. Dalam bahasa Sanskertasri berarti "bercahaya" atau "gemilang", danwijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan PerancisGeorge Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.

Catatan sejarah 

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal,Kabupaten Ogan Komering IlirSumatera Selatan.Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu. 
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwaIndonesia merupakan satu kesatuan negara sebelumkolonialisme Belanda
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atauSan Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnyaMalayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari petaPtolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulauSabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatansekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsiJambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsiRiau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Pembentukan dan pertumbuhan


Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro JambiKerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasiMadagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hinggaLampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat MalakaSelat SundaLaut China SelatanLaut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825. 

Agama


Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari abad ke-7 sampai ke-8 masehi.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas NalandaIndia, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana danBuddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhālokamenyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri diSuvarnadvipa. 
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di LigorThailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkanbahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing. 
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Budaya 


Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 sepertiPrasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapurmenyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara. 
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi KalasanCandi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro JambiCandi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor,Perak dan Chaiyadan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9). 

Perdagangan 


Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candiBorobudur.
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan darivassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India. 
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M. 
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujiankerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus(Thunb.Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka. 

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari 

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya. Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.

Hubungan dengan wangsa Sailendra 


Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya namaŚailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai namaDapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang. 
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang(Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan  kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.

Hubungan dengan kekuatan regional 


Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengankekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. 
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatandan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalandaberangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepadaUniversitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekatKanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan. 

Masa keemasan


Arca emas Avalokiteçvarabergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, JambiIndonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. 
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: SumateraJawa,Semenanjung MalayaThailandKambojaVietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu,cengkeh, kayu cendanapalakapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. 
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan. 
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa. 
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh. 
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa. 
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shoudan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). 
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh. 

Masa penurunan 


Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.
Tahun 1017 dan 1025Rajendra Chola I, raja daridinasti Chola di KoromandelIndia selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028. 
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehinggakapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasanKeterangan
PannaiPannai
MalaiyurMalayu
Mayirudingam
IlangasogamLangkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
MadamalingamTambralingga
Ilamuri-DesamLamuri
NakkavaramNikobar
KadaramKedah
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079,Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Choladisebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pibawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyungsebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka),Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungaiDungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya),Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), danSin-t'o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara rajaSinghasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkanArca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa diDharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalamNagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan 


Prasasti Telaga Batu
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuanvanuasamaryyāda,mandala dan bhūmi. 
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpanmas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi olehvanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapatvihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparissamaryyādamerupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandalamerupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) danrājakumāra (pewaris berikutnya)  Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati),senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjatapisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal),waniyagapratisramarsi haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakniyuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya 
TahunNama RajaIbukotaPrasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya
Shih-li-fo-shih
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit (683),Talang Tuo (684), Kota Kapur(686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
702Sri Indrawarman
Shih-li-t-'o-pa-mo
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
728Rudra Vikraman
Lieou-t'eng-wei-kong
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774Belum ada berita pada periode ini
775Sri MaharajaSriwijayaPrasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atauYogyakarta)Wangsa Sailendramengantikan Wangsa Sanjaya
778Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
JawaPrasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan
782Samaragrawira atau
Rakai Warak
JawaPrasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792Samaratungga atau
Rakai Garung
JawaPrasasti Karang Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candiBorobudur
840Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856BalaputradewaSuwarnadwipaKehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa
861-959Belum ada berita pada periode ini
960Sri Udayaditya Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
Sriwijaya
San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche(Haji)
988Sri Cudamani Warmadewa
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untukkaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou
1008Sri Mara-Vijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi
San-fo-ts'i
Kataha
Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelarhaji biasanya untuk raja bawahan
1025Sangrama-VijayottunggawarmanSriwijaya
Kadaram
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India
1030Dibawah Dinasti Chola dariKoromandel
1079Utusan San-fo-ts'i dengan rajaKulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi(Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177Belum ada berita
1178Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
1183Srimat Trailokyaraja Maulibhusana WarmadewaDharmasrayaDibawah Dinasti Mauli,Kerajaan MelayuPrasasti Grahi tahun 1183 di selatanThailand

Warisan sejarah 


Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M. 
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.  Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kotaPalembangSumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya(Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang),Sriwijaya TVSriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.

Catatan

  1. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak sebagai pengurusnya. 

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9.
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36.
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003).Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press.ISBN 0-300-10518-5.
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149.
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012)."Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan"Detik. Diakses 20 April 2012.
  11. ^ Sucipto 2009, hlm. 30.
  12. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  13. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.
  14. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  15. ^ a b Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  16. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  17. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  18. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  19. ^ Collins 2005, hlm. 8.
  20. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. hlm. 86.ISBN 978-979-543-708-6.
  21. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Diakses 20 April 2012.
  22. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X.
  23. ^ Collins 2005, hlm. 9.
  24. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  25. ^ Bukit Siguntang
  26. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  27. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  28. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  29. ^ Srivijaya Art In Thailand
  30. ^ Sucipto 2009, hlm. 28.
  31. ^ Halimi 2008, hlm. 121.
  32. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
  33. ^ Natawidjaja 1985, hlm. 28.
  34. ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar (2010), Budi Daya Semangka Panen 60 Hari, Penebar Swadaya: Jakarta. Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013
  35. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Diakses 2010-07-07.
  36. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012)."Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Berasal dari Kerajaan Sriwijaya"Detik. Diakses 18 April 2012.
  37. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Diakses 2012-03-23.
  38. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Diakses 2012-03-23.
  39. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Diakses 2012-03-23.
  40. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144.
  41. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487.
  42. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264.
  43. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251.
  44. ^ Halimi 2008, hlm. 120.
  45. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  46. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. hlm. 110-111.
  47. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel.Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
  48. ^ Munoz 2006, hlm. 151.
  49. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-1351-1.
  50. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77.
  51. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diakses 16 January 2013.
  52. ^ Munoz 2006, hlm. 150.
  53. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel.Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
  54. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  55. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5.
  56. ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
  57. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Diarsipkan dari aslinya tanggal 25 August 2012. Diakses 25 August 2012.
  58. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. hlm. 165.
  59. ^ Munoz 2006, hlm. 167.
  60. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg..
  61. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data".Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180.
  62. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  63. ^ Halimi 2008, hlm. 122.
  64. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  65. ^ Collins 2005, hlm. 12.
  66. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8.
  67. ^ The new Golden Peninsula Games
  68. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet.ISBN 981-4155-67-5.
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627.
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X Check |isbn= value (help).
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam bahasa Indonesia). JakartaKITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor IndonesiaISBN 979-461-537-4.
  • Natawidjaja, P. Suparman (1985). Mengenal Buah-Buahan yang Bergizi (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Dian.
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (dalam bahasa Indonesia). SoloTiga SerangkaiISBN 978-979-045-686-0.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar